Industri teh Indonesia saat ini menghadapi situasi paradoks. Di tengah penurunan produksi secara nasional, konsumsi teh di dalam negeri justru menunjukkan tren peningkatan. Kondisi ini mencerminkan dualitas yang perlu disikapi secara strategis oleh seluruh pemangku kepentingan.
Data dari Outlook Teh 2024 yang diterbitkan oleh Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian mencatat bahwa produksi teh Indonesia pada tahun 2023 mencapai 122.700 ton, turun 1,6 persen dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 124.700 ton. Penurunan produksi ini diperkirakan akan berlanjut hingga 2025, dengan proyeksi sebesar 123.961 ton, turun tipis dari 124.041 ton pada 2024.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan penurunan produksi adalah berkurangnya luas lahan kebun teh akibat konversi fungsi lahan, serta dominasi tanaman teh yang telah berusia lebih dari 50 tahun. Rata-rata produktivitas tanaman teh nasional saat ini hanya mencapai 1,2 ton per hektare, tertinggal jauh dari produktivitas negara pesaing seperti Kenya (2,5 ton/ha) dan India (2,3 ton/ha).
Provinsi Jawa Barat masih menjadi produsen utama teh nasional dengan kontribusi sekitar 67 persen dari total produksi. BPS mencatat produksi teh Jawa Barat pada tahun 2023 mencapai lebih dari 82.000 ton, disusul oleh Jawa Tengah sebesar 14.100 ton, dan Sumatera Utara sebanyak 9.600 ton.
Di sisi lain, permintaan domestik terhadap teh terus meningkat. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2023 menunjukkan bahwa konsumsi teh celup masyarakat Indonesia rata-rata mencapai 1,26 kantong per kapita per minggu. Angka ini mengindikasikan tren pertumbuhan konsumsi yang signifikan, seiring dengan meningkatnya preferensi terhadap produk teh siap minum (RTD), teh herbal, dan teh premium.
Menurut Kementerian Pertanian, lonjakan konsumsi teh domestik dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup masyarakat urban yang menginginkan minuman sehat, praktis, dan memiliki nilai rasa khas. Produk-produk seperti teh gelas, teh organik, hingga teh artisan mulai mendapatkan tempat di pasar dalam negeri, khususnya di kalangan generasi muda.
Kondisi ini menuntut pelaku industri untuk meningkatkan efisiensi dan mempercepat proses peremajaan kebun teh melalui program seperti Peremajaan Kebun Teh Rakyat (P2KTR). Pemerintah juga mendorong adopsi teknologi pertanian presisi dan sistem hilirisasi produk teh untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing.
Meskipun demikian, tantangan tetap ada. Ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi dapat memicu peningkatan impor teh dari negara lain. Untuk itu, sinergi antara petani, pelaku industri, dan pemerintah menjadi kunci dalam menjaga keberlanjutan industri teh nasional.
Dengan strategi yang tepat, dualitas ini justru dapat menjadi peluang emas bagi Indonesia untuk membangun industri teh yang lebih tangguh dan berorientasi pasar, baik domestik maupun ekspor.
Sumber: BPS, Kementerian Pertanian (Outlook Teh 2024), Susenas 2023, databoks.katadata.co.id, Geotimes.