Selama dua dekade terakhir, industri teh nasional menghadapi berbagai tantangan serius, mulai dari penurunan luas areal tanam, rendahnya produktivitas, hingga lemahnya daya saing di pasar ekspor. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, luas kebun teh Indonesia menurun dari 150.000 hektare pada tahun 2000 menjadi sekitar 106.000 hektare pada tahun 2023. Sebagian besar tanaman teh yang ada saat ini telah berusia tua, bahkan lebih dari 50 tahun, sehingga produktivitas rata-rata nasional stagnan di angka 1,2 ton per hektare—jauh di bawah negara pesaing seperti India dan Kenya.
Untuk membalikkan kondisi tersebut, pemerintah mendorong program hilirisasi industri teh dengan fokus pada peningkatan nilai tambah melalui produk olahan, seperti teh celup, ekstrak, dan minuman siap konsumsi. Salah satu langkah konkret adalah peluncuran Program Peremajaan Kebun Teh Rakyat (P2KTR), yang ditargetkan merevitalisasi ribuan hektare kebun dengan varietas unggul seperti Gambung 7 dan GMBS-2. Petani juga diberi akses ke pembiayaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) bunga rendah serta pelatihan teknologi pertanian presisi dan sistem produksi higienis.
Seiring dengan itu, tren konsumsi teh di pasar global juga mengalami perubahan. Meningkatnya minat terhadap teh organik, herbal, dan teh artisan menjadi peluang emas bagi Indonesia untuk menghadirkan produk specialty yang lebih bernilai. Kementerian Perindustrian mencatat bahwa permintaan untuk produk teh olahan asal Indonesia terus meningkat, dengan ekspor mencapai 37.878 ton senilai lebih dari USD 74 juta pada tahun 2023. Produk-produk teh seperti Walini, Nala Indonesian Tea, dan Haveltea berhasil menembus pasar ekspor hingga ke Amerika Serikat, Eropa, Timur Tengah, dan Asia Timur.
Lebih lanjut, Kementerian Perindustrian aktif mendukung para pelaku industri kecil dan menengah (IKM) dengan program pendampingan, sertifikasi mutu, serta partisipasi dalam pameran global dan business matching. Strategi ini bertujuan membangun branding teh Indonesia sebagai produk unggulan premium yang tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi juga memiliki karakter dan cerita budaya yang kuat.
Meski demikian, tantangan tetap ada. Pangsa ekspor teh Indonesia masih berada di bawah 1 persen dari total pasar dunia, tertinggal dari negara seperti Sri Lanka, India, dan Kenya. Oleh karena itu, transformasi industri teh nasional memerlukan kolaborasi berkelanjutan antara pemerintah, petani, pelaku usaha, dan pemangku kepentingan lainnya.
Dengan strategi hilirisasi dan fokus pada produk specialty, Indonesia kini berada pada jalur yang tepat untuk menjadikan teh bukan hanya sebagai komoditas, tetapi sebagai identitas rasa Nusantara yang mendunia.
Sumber: Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Geotimes, Kompas, BPS (2025)